Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan metode cross-sectional, yang melibatkan penderita epilepsi yang menjalani terapi dengan fenitoin di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sampel plasma dan saliva diambil secara berkala pada waktu yang sama, dan kadar fenitoin dianalisis menggunakan teknik kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Pengukuran dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar fenitoin dalam plasma dan saliva serta menentukan efektifitas saliva sebagai media alternatif untuk pemantauan terapi.
Fenitoin merupakan obat antiepilepsi yang banyak digunakan, dan pemantauan kadarnya sangat penting untuk menghindari toksisitas atau subterapi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi korelasi antara kadar fenitoin dalam plasma dan saliva sebagai langkah praktis dalam pemantauan terapi obat ini, mengingat saliva dapat diambil lebih mudah dan non-invasif dibandingkan dengan pengambilan darah.
Hasil Penelitian Farmasi
Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara kadar fenitoin dalam plasma dan saliva. Kadar fenitoin dalam plasma lebih konsisten dan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang efektivitas terapeutik, tetapi kadar fenitoin dalam saliva juga dapat mencerminkan fluktuasi kadar obat dalam tubuh, terutama pada pasien dengan metabolisme yang stabil. Rata-rata kadar fenitoin dalam plasma lebih tinggi dibandingkan saliva, namun saliva tetap dapat digunakan sebagai media alternatif untuk pemantauan jangka panjang.
Selain itu, hasil juga menunjukkan bahwa pasien dengan kadar fenitoin di atas ambang terapi memiliki risiko lebih tinggi terhadap efek samping seperti ataksia dan pusing. Pemantauan kadar fenitoin secara berkala diperlukan untuk memastikan pasien berada pada rentang terapi yang aman.
Diskusi
Kadar fenitoin dalam plasma adalah standar emas dalam pemantauan terapi, namun penggunaan saliva sebagai alternatif menawarkan beberapa kelebihan, seperti kenyamanan dan minimnya risiko infeksi. Keterkaitan antara kadar fenitoin dalam plasma dan saliva membuka peluang untuk pengembangan metode non-invasif dalam pemantauan pasien epilepsi, meskipun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi temuan ini pada populasi yang lebih luas.
Meski begitu, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar fenitoin dalam saliva, seperti pH saliva dan laju aliran saliva, yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Hal ini perlu diperhatikan dalam penerapan metode ini di klinik agar tidak terjadi over- atau under-estimasi kadar fenitoin.
Implikasi Farmasi
Penelitian ini memberikan implikasi penting bagi dunia farmasi, terutama dalam hal pemantauan kadar obat antiepilepsi. Penggunaan saliva sebagai media alternatif untuk pemantauan fenitoin dapat mempermudah proses pengawasan terapi dan meningkatkan kepatuhan pasien, terutama untuk mereka yang takut dengan pengambilan darah secara berkala.
Selain itu, temuan ini dapat mendorong pengembangan alat diagnostik berbasis saliva di apotek atau fasilitas kesehatan lainnya. Ini dapat membantu apoteker dalam memberikan layanan pemantauan yang lebih baik dan lebih nyaman bagi pasien epilepsi yang menjalani terapi jangka panjang.
Interaksi Obat
Fenitoin dikenal berinteraksi dengan berbagai obat lain, terutama obat yang dimetabolisme di hati. Obat-obatan seperti simetidin, isoniazid, dan antibiotik tertentu dapat meningkatkan kadar fenitoin dalam plasma, meningkatkan risiko toksisitas. Di sisi lain, obat seperti rifampisin dan fenobarbital dapat menurunkan kadar fenitoin, mengurangi efektivitas terapeutik dan meningkatkan risiko kejang.
Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk memberikan informasi lengkap tentang semua obat yang mereka konsumsi kepada dokter atau apoteker. Hal ini untuk memastikan tidak ada interaksi yang tidak diinginkan yang dapat mempengaruhi terapi fenitoin.
Pengaruh Kesehatan
Fenitoin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan efek samping serius jika tidak dipantau dengan baik. Efek samping yang umum meliputi pusing, penglihatan ganda, dan ataksia. Dalam jangka panjang, penggunaan fenitoin juga dapat menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan metabolisme tulang, seperti osteoporosis.
Pemantauan kadar fenitoin yang tepat dapat membantu mencegah terjadinya efek samping ini dan memastikan pasien tetap berada dalam rentang terapi yang aman. Selain itu, pasien yang menjalani terapi fenitoin jangka panjang harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk memantau pengaruh obat terhadap tubuh mereka.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kadar fenitoin dalam plasma dan saliva pada pasien epilepsi. Meskipun plasma tetap menjadi media pemantauan utama, saliva dapat digunakan sebagai alternatif yang non-invasif, terutama untuk pemantauan jangka panjang. Pemantauan kadar fenitoin yang rutin sangat penting untuk mengoptimalkan terapi epilepsi dan mencegah efek samping.
Namun, faktor-faktor seperti pH dan laju aliran saliva harus dipertimbangkan dalam penerapan metode ini. Pengembangan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan keakuratan dan konsistensi metode pemantauan berbasis saliva di lingkungan klinik.
Rekomendasi
Diperlukan penelitian lanjutan untuk menguji validitas penggunaan saliva dalam berbagai kondisi klinis lainnya, serta mengembangkan alat uji yang lebih mudah digunakan untuk keperluan apotek dan layanan kesehatan masyarakat. Selain itu, apoteker dan tenaga kesehatan harus terus memberikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya pemantauan kadar obat secara teratur untuk memastikan keberhasilan terapi fenitoin.
Pengembangan metode berbasis saliva yang lebih akurat juga perlu diprioritaskan, terutama untuk pasien yang menjalani terapi antiepilepsi jangka panjang, agar dapat meningkatkan kualitas hidup dan kenyamanan pasien